CONTOH Makalah Ushul Fiqh (LAFADZ DARI SEGI KETIDAK-JELASANNYA ( Khafi, Musykil, Mujmal, dan Mutasyabih )

LAFADZ DARI SEGI KETIDAK-JELASANNYA
( Khafi, Musykil, Mujmal, dan Mutasyabih )

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ushul Fiqh
Dosen Pengampu:
Prof.Dr.Kasuwi Saiban,M.A




Oleh :
Ahmad Syauqi Rahman
2016.77.01.772







STAI MA’HAD ALY AL-HIKAM MALANG
Jl. Cengger Ayam No.25 Malang 65141 Telp. (0341) 495375

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FEBRUARI 2017



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam Ushul Fiqh, Setiap Istimbat (pengembalian hukum) dalam syariat Islam, harus berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah nabi. Menjadi sebuah keharusan yang sangat penting bagi seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui prosedur atau rangkaian cara dalam penggalian hukum. Dan untuk hal tersebut, ilmu ushul fiqh telah menetapkan metodologinya.
Cara penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan makna dan pendekatan lafadz. Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung, seperi menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain sebagainya. Sedangkan pendekatan lafadz adalah penerapan pendekatan yang membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat penting, yaitu penguasaan terhadap makna dari lafadz-lafadz nash, serta konotasinya dari segi umum dan khusus dan juga harus bisa mengetahui dalalah atau buktinya.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba untuk memaparkan makalah yang mengenai lafadz yang dilihat dari ketidak-jelasannya, yakni suatu lafadz yang maksud dari lafadz tersebut tidak bisa ditemukan dari bentuk asli lafadz tersebut. Akan tetapi bisa ditemukan maksudnya dari indikator-indikator ekternal lafadz tersebut. Dalam makalah ini juga, penulis akan mencoba memaparkan keterangan tentang lafadz yang dilihat dari ketidak-jelasannya menurut dua pendapat, yakni menurut pendapat ulama Hanafiyah dan ulama Mutakalliminin (al-Syafi’iyah).

B.     Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian diatas, penulis mencoba membatasi ruang lingkup penulisan makalah ini dengan hanya membahas tentang beberapa hal sebagai berikut :
1.      Bagaimana pendapat ulama tentang pembagian lafadz menurut ketidak-jelasannya ?
2.      Apa saja tingkatan-tingkatan dari pembagian lafadz menurut ketidak-jelasannya ?

C.    Tujuan Penulisan
Setelah penulis merumuskan masalah, akhirnya penulis dapat menentukan tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pendapat ulama tentang pembagian lafadz menurut ketidak-jelasannya
2.      Untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dari pembagian lafadz menurut ketidak-jelasannya





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembagian Lafadz Menurut Ketidak-jelasannya
Nash yang tidak jelas petunjuknya yaitu nash yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukkan makna yang dimaksud, tetapi dalam pemahamannya membutuhkan unsur dari luar. Jika kesamarannya dapat dihilangkan dengan penelitian dan ijtihad, maka disebut al khafiy atau al musykil. Jika kesamarannya tidak dapat dihilangkan kecuali dengan penjelasan dari syar’i, maka disebut al mujmal. Dan jika tidak ada kemungkinan sama sekali untuk menghilangkan kesamaran itu maka disebut al mutasyabih[1].
Dalam hal ini, penulis tertarik kepada pendapat dua kelompok pengikut ulama besar ushul fiqh, yakni pendapat kelompok pengikut Imam Hanafi atau kelompok Hanafiyah dan juga kelompok pengikut Imam as-Syafi’I atau kelompok mutakallimin (al-Syafi’iyah).
Dalam pembagian lafadz yang ditinjau dari ketidak-jelasannya, para ulama Hanafiyah membagi ketidak-jelasan lafadz tersebut menjadi empat macam tingkatan, yaitu : khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih[2].
Sedangkan menurut ulama mutakallimin atau al-Syafi’iyah mereka hanya membagi pembagian lafadz yang ditinjau dari ketidak-jelasan menjadi dua bagian, yaitu mujmal dan mutasyabih. Hal ini disebabkan karena kelompok ini tidak memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi lafadz yang ditinjau dari segi ketidak-jelasannya, mereka pun berbeda-beda dalam memberikan definisi masing-masing kedua istilah tersebut. Bahkan sebagian dari kelompok ini ada yang menyamakan lafadz m ujmal dengan mutasyabih. Dan ada pula yang membedakan antara mujmal dengan mu’awwal.
Dari pembahasan diatas, dapat penulis ambil kesimpulan bahwa para ulama pengikut Imam Hanafi atau kelompok Hanafiyah, lebih memiliki pengertian dan dalil yang lebih kuat dalam membahas pembagian lafadz-lafadz menurut ketidak-jelasannya yakni dengan membaginya menjadi empat tingkatan, yakni : al khafi, al musykil, al mujmal, dan al mutasyabih. Sedangkan para ulama mutakallimin yang hanya membagi pembagian lafadz ditinjau dari ketidak-jelasannya menjadi dua tingkatan, yakni : al mujmal dan al mutasyabih

B.     Tingkatan-tingkatan Dari Pembagian Lafadz Menurut Ketidak-jelasannya
Dalam hal ini para ulama ushul fiqh membagi lafadz yang ditinjau dari ketidak-jelasannya menjadi empat tingkatan, yaitu : al khafi, al musykil, al mujmal, al mutasyabih.  Berikut ini penjelasan definisi masing-masing, beserta contohnya.
1.       Khafi
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, yang dimaksud dengan al khafi menurut istilah ulama ushul adalah lafadz yang menunjukkan makna secara jelas, tetapi dalam menerapkan arti kepada sebagian satuannya mengandung kesamaran dan ketidakjelasan, yang untuk menghilangkannnya membutuhkan pemikiran dan perkiraan yang matang, sehingga lafadz tersebut dianggap samar dari segi penerapan arti kepada kalimat yang lainnya[3].
Adapun Khafi menurut Abdul Hayy Abdul ‘Al, adalah lafadz yang maknanya samar (tidak jelas) pada sebagian pengertian yang ditunjuknya, hal itu karena faktor penerapannya terhadap yang ditunjuknya itu, bukan karena bentuk ucapan (shigot) nya[4]
Adapun pengertian Khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Ad-Dabusi yakni salah satu tokoh pengikut Hanafiyah, beliau mengartikan lafadz khafi sebagai suatu lafadz yang maknanya menjadi tidak tidak jelas karena hal baru yang ada di luar lafadz itu sendiri, sehingga arti lafadz itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam[5].
Dengan demikian munculnya lafadz khafa adalah akibat dari aplikasian suatu keputusan hukum yang diambil dari lafadz zahir  pada masalah yang dihadapi dan benar-benar terjadi, dimana masalah tersebut tidak persis sama dengan apa yang terdapat pada lafadz itu. Oleh sebab itu, untuk menghilangkannya perlu diadakan ijtihad.
Sebagai contoh adalah pengertian as sariq pada firman Allah , Was sariqu was sariqotu (Al-Maidah :38). Pada mulanya lafadz as Sariq itu tegas, yaitu orang-orang yang mengambil harta berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, pada tempat yang terpelihara atau dijaga. Akan tetapi, apabila pengertian as Sariq ini diterapkan pada masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri barang-barang dalam kuburan, korupsi, maka lafadz itu sendiri menjadi tidak tegas.
2.      Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya,  sedangkan menurut istilah seperti pendapat As-Sarakhsi ialah, suatu lafadz yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil atau qorinah[6].
            Mengutip dari pemaparan Prof. DR. H. Rachmat Syafe’I, M.A, dalam bukunya yang mengutip perkataan Adib Salih bahwa yang dimaksud musykil adalah suatu lafadz yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya diperlukan adanya dalil (qorinah) yang dapat menjelaskan kerumitan itu, dengan jalan pembahasan yang mendalam.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan antara khafi dan musykil itu terletak pada lafadz itu sendiri. Oleh sebab itu, musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya (ketersembunyiannya) daripada khafi.
Sebagai contoh lafadz musykil adalah lafadz musytarak (lafadz yang menunjukkan dua arti atau lebih secara bergantian), seperti kata ‘ain. Kata ini menunjukkan beberapa makna (yaitu : mata, sumber air, esensi, mata-mata). Kata ini tidak bisa ditentukan satu arti tertentu dari beberapa makna yang dikandungnya, kecuali dengan melihat dalil.
3.      Mujmal
Menurut As-Sarakhsi, Mujmal menurut bahasa berarti global atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah lafadz yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’)
Adapun menurut Al-Bazdawi, ia mendefinisikan mujmal dengan ungkapan yang didalamnya terkandung banyak makna, namun makna-makna yang dimaksud  adalah makna-makna yang tidak jelas. Artinya, apa yang dimaksudkan tidak bisa diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tetapi harus ditafsirkan, diteliti, dan dipikirkan secara mendalam.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khafa (ketidak-jelasannya) daripada musykil, sebab penjelasan mujmal diperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad. Contoh lafadz shalat, menurut bahasa berarti doa,  tetapi menurut syara’ adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah, maka perintah sholat dalam al-quran harus dilihat atau memerlukan penjelasan dari hadits Rasulullah.
4.      Mutasyabih
Menurut As-Sarakhsi, Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan atau kesimpang siuran. Menurut istilah, berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah suatu lafadz yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan syara, baik al-Qur’an maupun hadits, sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan.
Sedangkan menurut DR. Abdul Hayy Abdul ‘Al, ia mengatakan bahwa lafadz mutasyabih  merupakan lafadz yang maknanya samar, dan tidak akan mungkin sanggup dijangkau oleh nalar ulama sekalipun[7], bahkan Rasulullah pun tidak berani menjawab apa arti dari ayat-ayat mutasyabih. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam surat Ali-Imran ayat 7-8, yang artinya :
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalami ilmu berkata, ‘kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya (ayat-ayat mutasyabihat)) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan  hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Ali-Imran : 7-8)
            Sebagai contoh dari potongan ayat-ayat mutasyabih antara lain ;
1.      Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam Al-Qur’an seperti  كهيعص , الر, الم dan sebagainya. Potongan-potongan dalam bentukhuruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dan segi lafaznya. Allah SWT dan nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah menjelaskannya sehingga setiap pembaca hanya akan mengatakan wallahu a’lam bil murodihi.
2.      Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta dengan makhluknya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughowinya, karena Allah SWT mahasuci dari pengertian yang demikian, Umpamanya firman Allah SWT dalam surat al-Fath(48):10:
يدالله فوق أيديهم   
Arti lughowi ayat tersebut: Tangan Allah berada diatas tangan mereka.
Dari penjelasan serta penguatan dengan firman Allah diatas, dapat disimpulkan bahwa lafadz mutasyabih merupakan lafadz yang tingkat ketidak-jelasannya paling tinggi, dibandingkan dengan lafadz-lafadz lainnya.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pemaparan pembahasan diatas, maka penulis mencoba menyimpulkan menjadi beberapa kesimpulan, sebagai berikut ;
1.     Para ulama pengikut Imam Hanafi atau kelompok Hanafiyah, lebih memiliki pengertian dan dalil yang lebih kuat dalam membahas pembagian lafadz-lafadz menurut ketidak-jelasannya yakni dengan membaginya menjadi empat tingkatan, yakni : al khafi, al musykil, al mujmal, dan al mutasyabih. Sedangkan para ulama mutakallimin yang hanya membagi pembagian lafadz ditinjau dari ketidak-jelasannya menjadi dua tingkatan, yakni : al mujmal dan al mutasyabih.
2.      Dari tingkatan-tingkatan lafadz ditinjau dari ketidak-jelasannya tersebut, yang merupakan tingkatan lafadz terkecil kadar ke-mubhaman-nya atau ketersembunyiannya adalah lafadz khafi, sedangkan lafadz yang terbesar kadar ke-mubhaman-nya atau ketersembunyiannya adalah lafadz mutasyabih.



  
DAFTAR PUSTAKA


[1]Faiz El Muttaqin. Terjemah ilmu Ushul Fiqh Abdul Wahab Khallaf. 2003. Jakarta : Pustaka Amani. Cet-1. Hal.244
[2] Sumber : https ://www.kompasiana.com/amp/yahya/pembagian-lafal-ditinjau-dari-ketidakjelasan-maknanya (09-03-17 : 15.22)
[3] Faiz El Muttaqin. Terjemah ilmu Ushul Fiqh Abdul Wahab Khallaf. 2003. Jakarta : Pustaka Amani. Cet-1. Hal.245
[4] Muhammad Misbaah. Terjrmah Pengantar Ushul Fikih Abdul Hayy Abdul ‘Al. 2006. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. Cet=3. Hal. 249
[5] Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. 2015. Bandung : CV Pustaka Setia. Cet-5. Hal. 164
[6] Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. 2015. Bandung : CV Pustaka Setia. Cet-5. Hal. 165
[7] Muhammad Misbaah. Terjrmah Pengantar Ushul Fikih Abdul Hayy Abdul ‘Al. 2006. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. Cet=3. Hal. 250

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH Makalah Teori Pembelajaran (Behavioristik)

CONTOH Makalah Ulumul Qur'an (TAFSIR BIL MA’TSUR DAN BIR RA’YI)