CONTOH Makalah Ulumul Qur'an (TAFSIR BIL MA’TSUR DAN BIR RA’YI)

TAFSIR BIL MA’TSUR DAN BIR RA’YI

Diajukan untuk memenuhi  tugas makalah mata kuliah ulumul Qur’an
  



Oleh :
           Ahmad Syauqi Rahman




STAI MA’HAD ALY AL-HIKAM MALANG
Jl. Cengger Ayam No.25 Malang 65141 Telp. (0341) 495375



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam ayat 33 dari Al-Furqan yang artinya “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar  dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “kasyf al-mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup). Dan tafsir menurur Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz.[1] Sebagian ulamapun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan.

Didalam kamus bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran”.[2] Termasuk didalamnya terjemah al-Quran. Jadi Tafsir Al-Quan ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. Dengan demikian menefsirkan al-Quran adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. Dalam perkembangannya, tafsir terus dikembangkan dengan berbagai metode untuk mencoba menemukan maksud yang pas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Dalam perkembangan awal, penafsiran tebagi menjadi dua macam. Yaitu penafsiran Bil Ma’tsur dan Bil Ro’yi. Oleh karena itulah, kami sebagai tim penulis mencoba menjelaskan tentang dua macam metode penafsiran tersebut.

B.     Pembatasan dan Perumusan Masalah
            Dari uraian diatas, kami mencoba membatasi ruang lingkup penulisan makalah ini dengan hanya membahas tentang beberapa hal sebagai berikut :
1.      Apa pengertian tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi ?
2.      Bagaimana sejarah dan perkembangan tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi ?
3.      Bagaimana hukum tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi ?

C.    Tujuan Penulisan
Setelah kami merumuskan masalah, akhirnya kami dapat menentukan tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi
2.      Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi
3.      Untuk mengetahui hukum tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Tafsir Bil Ma’tsur
·         Pengertian Tafsir bil Ma’tsur :
Tafsir bil Ma’tsur bisa juga disebut dengan Tafsir bil Riwayah dan tafsir bil Naqli[1]. Dengan kata lain penafsiran al-Qur’an dengan metode ini adalah dengan al-Qur’an itu sendiri, atau melalui hadits dan melalui perkataan sahabat.

Tafsir bil ma’tsur menggunakan metode penafsiran dengan cara mengutip,atau mengambil rujukan pada al-Qur’an, hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in. Metode ini meng-haruskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.

·         Sejarah serta perkembangan tafsir bil Ma’tsur :
Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat,serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku-buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat, tabi’in al tabi’in[2].

Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi-studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Quran pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Quran yang mutlaq dengan ayat Al-Quran yang muqayyad[3].

Namun perlu kita tekankan juga bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur sendiri, tidak bisa terlepas dari unsur ro’yi. Walaupun pada masa ini blum begitu dikenal adanaya tafsir bil ro’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ro’yi secara tidak langsung. Begitupun dalam penafsiran bil ra’yi mereka tidak serta lepas dari tafsir bil ma’tsur.

·         Macam-macam penafsiran al-Qur’an dengan metode tafsir bil Ma’tsur beserta contoh-contohnya :
a.       Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an
Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi, karena Allah SWT adalah sumber berita yang paling benar dan tidak bisa diragukan, dan tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya.

Contohnya seperti firman Allah SWT :
فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿۳۷﴾


Artinya : “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. ( QS. Al-Baqarah : 37 )

Yang kemudian ditafsirkan dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿‌‌٢٣﴾
Artinya : “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”. ( QS. Al-A’raf : 23 )

Contoh lain seperti firman Allah SWT :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿۳﴾
Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”.
( QS. Ad-Dukhan : 3 )

Yang kemudian ditafsiri dengan firman Allah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ﴿١﴾
Artinya : “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir)”. ( QS. Al-Qadar : 1 )

b.      Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits
Penafsiran al-Qur’an dengan hadits merupakan bentuk penafsiran yang kedua setelah penafsiran dengan al-Qur’an. Sejalan dengan penafsiran dengan al-Qur’an, maka penafsiran dengan hadist juga menjadi sumber yang tidak bisa diragukan, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkannya.
           
            Contohnya seperti firman Allah SWT :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ ..... ﴿٦٠﴾
Artinya : “Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. ( QS. Al-Anfal : 60 )

Yang kemudian ditafsirkan dengan hadits Nabi Muhammad SAW :
Nabi SAW menafsirkan kata Al-quwwah (الْقُوَّةَ) dengan Ar-Ramnya (الرَّمْىُ) yang artinya panah. Sabda Nabi :
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ أَبِى عَلِىٍّ ثُمَامَةَ بْنِ شُفَىٍّ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ « وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ » روه مسلم
ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.

c.       Penafsiran Al-Qur’an dengan tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabat itu termasuk ma’tsur[4].

Namun dalam penafsiran al-Qur’an dengan tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.

·         Kitab-kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil Ma’tsur yakni[5] :
-          Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
-          Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
-          Tafsir Baqy Makhlad
-          Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
-          Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
-          Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
-          Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
-          Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
-          Tafsir Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an (Abdurrahman Atsa’libi)

  • Tokoh-tokoh dalam Tafsir Bil Ma’tsur :
-            Ibnu jarir Ath thabary
-            Abul Laits as Samarqandy
-            Al Wahidy
-            Al Hafidh Ibnu katsir
-            Abdul haqq bin Ghalib
-            Abu Muhammad Al- Husain bin Mas’ud
-            Jalaludin Asuyuthi
-            Abdurrahman Atsa’libi

B.       Tafsir Bir Ra’yi
·         Pengertian Tafsir bir Ra’yi :
Tafsir bir ra’yi juga dapat dikatakan sebagai tafsir bid dirayah[6], dengan kata lain penafsiran al-Qur’an dengan metode ini adalah dengan cara ijtihad yang dibangun dengan kaidah-kaidah yang benar dalam menafsirkannya.

Penafsiran dengan cara ini tidak hanya didasarkan pendapat semata atau gagasan yang ada pada pikiran semata. Namun dibutuhkan kaidah-kaidah keilmuan dalam penafsiran bir ra’yi ini. Seperti berpegang kepada kaidaah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya[7].

·         Sejarah serta perkembangan tafsir bir Ra’yi :
Tafsir bir rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam semakin maju dan berkambang, sehingga berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam.masing – masing golongan berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) , pembahasan aspek hukum syariah (imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing. Tafsir bir Ra’yi masih bisa diterima selama penafsir menjauhi lima hal berikut[8] :

Ø  Menjauhi sikap terlalu berani menduga – duga kehendak Allah didalam KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsir.
Ø  Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya.
Ø  Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
Ø  Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab.
Ø  Menghindari penafsiran pasti (qath’i)

Sehingga jika sudah menjauhi lima hal diatas maka mufasir dinilai berniat ikhlas untuk menafsirkan tanpa ada kepentingan terselubung.karena apabila tafsirnya memihak kepentingan suatu madzhab atau golongan maka ia dianggap sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya dianggap tercela dan ditolak. Seperti pada kasus dimana banyak penafsir dari golongan mu’tazilah yang memasukkan paham ke mu’tazilahannya yang bertumpu pada lima dasar yakni: tauhid, adil, al-wadu wa al-wa’id, al-manzilah bayanal manzilatayn serta amar ma’ruf nahi munkar.

Selain mu’tazilah ada beberapa golongan pula yang melakukan hal yang sama. Dalam perkembangannya tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun dalam penerimaan nya di mata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan dan melarang. Meski ada beberapa ulama yang memperbolehkan penafsiran dengan ijtihad yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah rasul serta kaedah yang dianggap mu’tabarat. Nmun, para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al- qur’an. Dan tidak ada dalil yang kuat untuk pelarangan tafsir bir ra’yi sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: “ mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal–hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang [lanjutnya], ia harus diam kalau tidak tahu ,dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya sesuatu yang diketahuinya”

Jadi diamnya ulama salaf bukan karena tidak mau menafsirkannya, bukan pula karena dilarang. Tapi, karena ke hati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut takhmin dalam menafsirkan Al- qur’an. Karena ada dua pandangan dalam hukum tafsir bir ra’yi, maka kiitab-kitab tafsir bir ra’yi dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud (diperbolehkan) dan yang Mazhmum (terlarang /tercela).


  • Kitab-kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bir Ra’yi  yakni[9] :
1.      Contoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan)
-          Tafsir anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)
-          Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)
-          Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
-          Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
-          Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
-          Tafsir Al-jami’ Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)
-          Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A Sayuthy)

2.      Contoh kitab yang Mazhmum (dilarang)
-          Tanjihul qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
-          Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al-Kazarani) dari golongan Syi’ah
-          Tafsir Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah
-          Himyanul Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij
-          Gharar Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.
-          Rahul Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij
-          Tafsir Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al-zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin Muhammad) dari golongan Zayidiyah

  • Contoh Tafsir Bir Ra`yi :
Seperti firman Allah SWT, pada QS. Al-Ahzab ayat ke 59 :
Yang artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.

Kemudian ditafsirkan dengan sebuah pendapat ahli tafsir
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnya berdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional[10].

·         Tokoh-Tokoh dalam Tafsir Bir Ra’yi :
Tokoh-tokoh dalam tafsir bir-Ra’yi dibedakan jadi dua kelompok, yakni kelompok yang tafsirnya Mahmud yakni:
-          Muhammad bin Husain ibnu Al- Hasan
-          Muhammad bin Abi Bakr
-          Jalaludin Muhammad bin ahmad
-          Jalaludin abdurahman bin Abi Bakr
-          Nidhamuddin ibnu hasan
-          Shihabudin As- Sayid
Serta kelompok tokoh-tokoh yang tafsirnya Mazhmuz yakni :
-          Maula Abdul Latif al- Kazarani (dari golongan Syi’ah)
-          Muhammad bin Syah Murtadha (dari golongan Syi’ah)
-          Shaltan bin muhammad (dari golongan Syi’ah)
-          Abu Hasan Abdul Jabar bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)
-          Abu Qasim Muhammad bin ‘Amr bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)
-          Abu Abdurrahman As Sulami (dari golongan Khawari)

C.      Hukum Tafsir Bil Ma’tsur dan Bir- Ra’yi
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu ada empat macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.

Dari yang dikatakan ibnu Abbas kita bisa tahu bahwa ada beberapa tafsir yang tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad saw, seperti dalam hal- hal seperti ayat – ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah. Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW[11].

Sementara tafsir Bil Ra’yi hukumnya adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan atau tidak boleh dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini, yakni pendapat yang berkaca kepada firman Allah SWT, dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’ [17] :36).

Dan juga dengan firman Allah SWT yang lain, “katakanlah: ‘tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar ; (mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak ia turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan ) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui ” (al – A’raf [7]:33)

Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis metode ini bisa dibilang tidak aman untuk menafsirkan karna biasanya dimasuki oleh ide-ide penafsir itu sendiri tanpa disandarkan pada bukti-bukti yang shahih, namun masih ada beberapa yang diperbolehkan asalkan memenuhi persyaratan tertentu, serta tidak memihak salah satu golongan atau madzhab apapun.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setelah dicermati dan diketahui, akhirnya penulis menemukan beberapa hal penting yang dapat dijadikan sebagai suatu kesimpulan dalam isi makalah ini, antara lain ;

1.        Tafsir bil Ma’tsur bisa juga disebut dengan Tafsir bil Riwayah dan tafsir bil Naqli. Dengan kata lain penafsiran al-Qur’an dengan metode ini adalah dengan al-Qur’an itu sendiri, atau melalui hadits dan melalui perkataan sahabat. Sedangkan tafsir bir ra’yi juga dapat dikatakan sebagai tafsir bid dirayah, dengan kata lain penafsiran al-Qur’an dengan metode ini adalah dengan cara ijtihad yang dibangun dengan kaidah-kaidah bahasa arab yang benar dalam menafsirkannya.
2.      Perlu kita ketahui bahwa dalam sejarah perkembangan tafsir baik tafsir bil ma’tsur maupun tafsir bil ra’yi, keduanya saling berkaitan, tidak bisa terlepas satu dengan yang lainnya. Walaupun pada masa perkembangan tafsir bil ma’tsur, belum begitu dikenal adanaya tafsir bil ro’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ro’yi secara tidak langsung. Begitupun dalam penafsiran bil ra’yi mereka tidak serta lepas dari tafsir bil ma’tsur.
3.      Adapun hukum dalam penggunaannya, tafsir bil Ma’tsur sangat dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sementara tafsir Bil Ra’yi hukumnya adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan atau tidak boleh dilakukan.


  

DAFTAR PUSTAKA


[1] Mohammad Gufron dan Rahmawati. 2013. Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah. Yogyakarta : Penerbit Teras. Cetakan 1. Hal. 177
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir. Jakarta : Bulan Bintang. hlm. 226-236
[3]  ‘Ali Hasan Al-‘Aridi. 1994.  Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom. Jakarta : PT. Raja Grafindo persada. Hlm. 42
[4] Ali Hasasn Al-Aridi. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 44
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 252-253
[6] Mohammad Gufron dan Rahmawati. 2013. Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah. Yogyakarta : Penerbit Teras. Cetakan 1. Hal. 177
[7] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 252-253

[8] Ali Hasasn Al-Aridi. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 50
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 252-253
[10] Sumber : http://imaza17.blogspot.com/2012/02/makalah-tafsir-bil-masur-dan-bir-royi.html. Diakses pad : Kamis, 24-11-2016. Pukul : 15.12 WIB
[11] Ali Hasasn Al-Aridi. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH Makalah Teori Pembelajaran (Behavioristik)

CONTOH Makalah PKN (POLITIK DAN DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA)