CONTOH Makalah Ulumul Qur'an (TAFSIR BIL MA’TSUR DAN BIR RA’YI)
TAFSIR BIL MA’TSUR DAN BIR RA’YI
Diajukan untuk memenuhi tugas
makalah mata kuliah ulumul Qur’an

Oleh :
Ahmad Syauqi Rahman
STAI MA’HAD ALY AL-HIKAM
MALANG
Jl. Cengger Ayam No.25 Malang 65141 Telp. (0341) 495375
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Istilah Tafsir merujuk
kepada Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam ayat 33 dari Al-Furqan yang
artinya “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang
ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”.
Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “kasyf
al-mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup). Dan tafsir menurur Ibn
Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz.[1]
Sebagian ulamapun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur
yaitu menjelaskan dan menerangkan.
Didalam kamus bahasa
Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang
ayat-ayat Al-Quran”.[2] Termasuk didalamnya terjemah al-Quran. Jadi Tafsir
Al-Quan ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar
memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. Dengan demikian menefsirkan al-Quran
adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari
ayat-ayat tersebut. Dalam perkembangannya, tafsir terus dikembangkan dengan
berbagai metode untuk mencoba menemukan maksud yang pas dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran. Dalam perkembangan awal, penafsiran tebagi menjadi dua
macam. Yaitu penafsiran Bil Ma’tsur dan Bil Ro’yi. Oleh karena itulah, kami
sebagai tim penulis mencoba menjelaskan tentang dua macam metode penafsiran
tersebut.
B.
Pembatasan
dan Perumusan Masalah
Dari uraian diatas, kami mencoba membatasi
ruang lingkup penulisan makalah ini dengan hanya membahas tentang beberapa hal
sebagai berikut :
1.
Apa pengertian tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi ?
2.
Bagaimana sejarah dan perkembangan tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi ?
3.
Bagaimana hukum tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi ?
C.
Tujuan
Penulisan
Setelah kami
merumuskan masalah, akhirnya kami
dapat menentukan tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian tafsir bil
Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi
2.
Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi
3.
Untuk mengetahui hukum tafsir bil
Ma’tsur dan tafsir bir Ra’yi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir Bil
Ma’tsur
·
Pengertian Tafsir bil Ma’tsur :
Tafsir bil Ma’tsur bisa juga disebut dengan
Tafsir bil Riwayah dan tafsir bil Naqli[1].
Dengan kata lain penafsiran al-Qur’an dengan metode ini adalah dengan
al-Qur’an itu sendiri, atau melalui hadits dan melalui perkataan sahabat.
Tafsir bil ma’tsur menggunakan metode
penafsiran dengan cara mengutip,atau mengambil rujukan pada al-Qur’an, hadist Nabi, kutipan
sahabat serta tabi’in. Metode ini meng-haruskan mufasir menelusuri shahih tidaknya
riwayat yang digunakannya.
·
Sejarah serta perkembangan tafsir bil Ma’tsur :
Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini tafsir
bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau
dari sahabat oleh sahabat,serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang
jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah
itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat
yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini
dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin
ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku-buku yang memuat khusus tafsir bil
ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat,
tabi’in al tabi’in[2].
Semua kitab tafsir
ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang
dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta
mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan
selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa
mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat-pendapatnya
sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena
adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi-studi
kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga
para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan
Al-Quran pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat
Al-Quran yang mutlaq dengan ayat Al-Quran yang muqayyad[3].
Namun perlu kita tekankan juga
bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur sendiri, tidak bisa terlepas dari
unsur ro’yi. Walaupun pada masa ini blum begitu
dikenal adanaya
tafsir bil ro’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil ma’tsur tidak
bisa lepas dari unsur ro’yi secara tidak langsung. Begitupun dalam penafsiran bil ra’yi mereka
tidak serta lepas dari tafsir bil ma’tsur.
·
Macam-macam penafsiran al-Qur’an dengan metode tafsir bil Ma’tsur beserta contoh-contohnya :
a.
Penafsiran
Al-qur’an dengan Al-qur’an
Penafsiran Al-qur’an dengan
Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi, karena Allah SWT adalah sumber berita
yang paling benar dan tidak bisa
diragukan, dan
tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya.
Contohnya seperti
firman Allah SWT :
فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ
رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿۳۷﴾
Artinya : “Kemudian
Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah
menerima tobatnya”. ( QS. Al-Baqarah : 37 )
Yang kemudian ditafsirkan
dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا
وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٢٣﴾
Artinya : “Keduanya
berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau
tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang
yang merugi”. ( QS. Al-A’raf : 23 )
Contoh lain seperti
firman Allah SWT :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا
مُنْذِرِينَ ﴿۳﴾
Artinya : “Sesungguhnya
kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”.
( QS. Ad-Dukhan : 3 )
Yang kemudian ditafsiri
dengan firman Allah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ﴿١﴾
Artinya : “Sesungguhnya
telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir)”.
( QS. Al-Qadar : 1 )
b.
Penafsiran
Al-qur’an dengan Hadits
Penafsiran
al-Qur’an dengan hadits merupakan bentuk penafsiran yang kedua setelah
penafsiran dengan al-Qur’an. Sejalan dengan penafsiran dengan al-Qur’an, maka
penafsiran dengan hadist juga menjadi sumber yang tidak bisa diragukan, karena
himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkannya.
Contohnya
seperti firman Allah SWT :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ ..... ﴿٦٠﴾
Artinya : “Hendaklah
kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. ( QS. Al-Anfal : 60 )
Yang kemudian ditafsirkan dengan hadits Nabi Muhammad SAW
:
Nabi SAW menafsirkan kata Al-quwwah (الْقُوَّةَ) dengan Ar-Ramnya (الرَّمْىُ) yang artinya panah. Sabda Nabi
:
حَدَّثَنَا
هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى عَمْرُو بْنُ
الْحَارِثِ عَنْ أَبِى عَلِىٍّ ثُمَامَةَ بْنِ شُفَىٍّ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ
بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ عَلَى
الْمِنْبَرِ يَقُولُ « وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ
الْقُوَّةَ الرَّمْىُ
أَلاَ إِنَّ
الْقُوَّةَ الرَّمْىُ »
روه مسلم
“ingat,
sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah
anak panah”.
c.
Penafsiran Al-Qur’an dengan tafsir
sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat
yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’
artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan
Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir
sahabat itu termasuk ma’tsur[4].
Namun dalam
penafsiran al-Qur’an dengan tafsir para tabi’in dan
tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama
berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan
sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi
(penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu
mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan
berdasarkan kaidah bahasa arab.
-
Tafsir Jami’ul Bayan
( Ibnu Jarir Ath Thabary)
-
Tafsir Al Bustan
(Abul Laits as Samarqandy)
-
Tafsir Baqy Makhlad
-
Tafsir Ma’limut Tanzil
(Al Baghawy)
-
Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim
( Al Hafidh ibnu Katsir)
-
Tafsir Asbabun Nuzul
(Alwahidy)
-
Tafsir An Naskh wal mansukh
(Abu Ja’far An Nahas)
-
Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur
(As Suyuthy)
-
Tafsir Al
jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an (Abdurrahman Atsa’libi)
- Tokoh-tokoh
dalam Tafsir Bil
Ma’tsur :
-
Ibnu jarir
Ath thabary
-
Abul Laits
as Samarqandy
-
Al Wahidy
-
Al Hafidh
Ibnu katsir
-
Abdul haqq
bin Ghalib
-
Abu
Muhammad Al- Husain bin Mas’ud
-
Jalaludin
Asuyuthi
-
Abdurrahman
Atsa’libi
B.
Tafsir Bir Ra’yi
·
Pengertian Tafsir bir
Ra’yi :
Tafsir
bir ra’yi juga dapat dikatakan
sebagai tafsir bid dirayah[6], dengan
kata lain penafsiran al-Qur’an dengan metode ini adalah dengan cara ijtihad
yang dibangun dengan kaidah-kaidah yang benar dalam menafsirkannya.
Penafsiran
dengan cara ini tidak hanya didasarkan pendapat semata atau gagasan yang ada
pada pikiran semata. Namun dibutuhkan kaidah-kaidah keilmuan dalam penafsiran bir ra’yi ini. Seperti berpegang kepada
kaidaah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan
bahasanya[7].
·
Sejarah serta perkembangan tafsir bir
Ra’yi
:
Tafsir bir
ra’yi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H
dan peradaban islam semakin maju dan berkambang, sehingga berkembanglah
berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam.masing – masing golongan
berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka.
Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai
disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil
pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain.
Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) ,
pembahasan aspek hukum syariah (imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti
inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya
karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing. Tafsir bir Ra’yi masih bisa diterima selama penafsir
menjauhi lima hal berikut[8] :
Ø
Menjauhi sikap terlalu berani menduga – duga
kehendak Allah didalam KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsir.
Ø
Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang
Allah untuk mengetahuinya.
Ø
Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
Ø
Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan
madzhab.
Ø
Menghindari penafsiran pasti (qath’i)
Sehingga jika sudah menjauhi lima hal
diatas maka mufasir dinilai berniat ikhlas untuk menafsirkan tanpa ada
kepentingan terselubung.karena apabila tafsirnya memihak kepentingan suatu
madzhab atau golongan maka ia dianggap sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya
dianggap tercela dan ditolak. Seperti pada kasus dimana banyak penafsir dari
golongan mu’tazilah yang memasukkan paham ke mu’tazilahannya yang bertumpu pada
lima dasar yakni: tauhid, adil, al-wadu wa al-wa’id, al-manzilah bayanal manzilatayn serta amar ma’ruf nahi munkar.
Selain
mu’tazilah ada beberapa golongan pula yang melakukan hal yang sama. Dalam
perkembangannya tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun dalam
penerimaan nya di mata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan dan
melarang. Meski ada beberapa ulama yang memperbolehkan penafsiran dengan
ijtihad yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah rasul serta kaedah yang dianggap
mu’tabarat. Nmun, para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al-
qur’an. Dan tidak ada dalil yang kuat untuk pelarangan tafsir bir ra’yi sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: “
mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada
hal–hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang [lanjutnya],
ia harus diam kalau tidak tahu ,dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya
sesuatu yang diketahuinya”
Jadi diamnya
ulama salaf bukan karena tidak mau menafsirkannya,
bukan pula karena dilarang. Tapi, karena ke hati-hatian
mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut takhmin dalam menafsirkan
Al- qur’an. Karena ada dua pandangan dalam hukum tafsir bir ra’yi, maka kiitab-kitab tafsir bir ra’yi dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud
(diperbolehkan) dan yang Mazhmum (terlarang /tercela).
- Kitab-kitab tafsir yang
memuat tentang tafsir bir
Ra’yi yakni[9] :
1. Contoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan)
-
Tafsir anwarut Tanzil
wa Asrarut Takwil
(Al Baidhawy)
-
Tafsir Irsyadul Aqlis
Salim ( Abu Su’ud Al
Imady)
-
Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
-
Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
-
Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
-
Tafsir Al-jami’
Liahkami Qur’an (muhammad bin
Abi bakr)
-
Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan
Jalaludin Muhammad A Sayuthy)
2. Contoh kitab
yang Mazhmum (dilarang)
-
Tanjihul qur’an ‘ani
Mathain’ ( abu hasan
abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
-
Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul
Latif Al-Kazarani) dari golongan Syi’ah
-
Tafsir Hassan Al –
Askari (Abu Musa )
dari golongan Syi’ah
-
Himyanul Zad Ila Daril
ma’ad (muhammad bin
Yusuf) dari golongan Khawarij
-
Gharar Al-Fawa’id wa
Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali)
dari golongan Mu’tazilah.
-
Rahul Ma’ani
(Syihabudin Al Alusi )
dari golongan khawarij
-
Tafsir Athiyah bin
Muhammad An-Nazwany Al-zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin Muhammad) dari golongan Zayidiyah
- Contoh Tafsir Bir
Ra`yi :
Seperti firman
Allah SWT, pada QS. Al-Ahzab
ayat ke 59 :
Yang artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan
istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya
kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal
maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha
Penyayang”.
Kemudian
ditafsirkan dengan sebuah pendapat ahli tafsir
Perintah berjilbab
dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan
tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala
mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di
dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya
dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah
sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada
‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula
hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnya berdasarkan kaidah itu. Maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat
kondisional[10].
·
Tokoh-Tokoh
dalam Tafsir Bir Ra’yi :
Tokoh-tokoh
dalam tafsir bir-Ra’yi dibedakan jadi dua kelompok, yakni kelompok yang
tafsirnya Mahmud yakni:
-
Muhammad bin Husain ibnu Al- Hasan
-
Muhammad bin Abi Bakr
-
Jalaludin Muhammad bin ahmad
-
Jalaludin abdurahman bin Abi Bakr
-
Nidhamuddin ibnu hasan
-
Shihabudin As- Sayid
Serta kelompok
tokoh-tokoh yang tafsirnya Mazhmuz
yakni :
-
Maula Abdul Latif al- Kazarani (dari golongan
Syi’ah)
-
Muhammad bin Syah Murtadha (dari golongan Syi’ah)
-
Shaltan bin muhammad (dari golongan Syi’ah)
-
Abu Hasan Abdul Jabar bin Muhammad (dari golongan
Mu’tazilah)
-
Abu Qasim Muhammad bin ‘Amr bin Muhammad (dari
golongan Mu’tazilah)
-
Abu Abdurrahman As Sulami (dari golongan Khawari)
C.
Hukum Tafsir Bil
Ma’tsur dan
Bir- Ra’yi
Tafsir bil ma’tsur
adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang
shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak
tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah.
Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu ada empat macam ; tafsir
yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka, tafsir yang
harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan
tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.
Dari yang dikatakan
ibnu Abbas kita bisa tahu bahwa ada beberapa tafsir yang tidak bisa dirtikan
secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh
utusannya yakni Nabi Muhammad saw, seperti dalam hal- hal seperti ayat – ayat
yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi
hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk
terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat
Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah.
Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir
jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW[11].
Sementara tafsir Bil Ra’yi hukumnya adalah diperbolehkan apabila ada dasar
yang shahih namun apabila tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan atau tidak
boleh dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini, yakni pendapat yang berkaca
kepada firman Allah SWT, “dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’ [17] :36).
Dan juga dengan
firman Allah SWT yang lain, “katakanlah:
‘tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun
tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar ;
(mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak ia turunkan
hujjah mengenainya dan (mengharamkan ) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang
tidak kamu ketahui ” (al – A’raf [7]:33)
Secara umum dapat
dikatakan bahwa jenis metode ini bisa dibilang tidak aman untuk menafsirkan
karna biasanya dimasuki oleh ide-ide penafsir itu sendiri tanpa disandarkan
pada bukti-bukti yang shahih, namun masih ada beberapa yang diperbolehkan
asalkan memenuhi persyaratan tertentu, serta tidak memihak salah satu golongan
atau madzhab apapun.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah dicermati dan diketahui, akhirnya penulis
menemukan beberapa hal penting yang dapat dijadikan sebagai suatu kesimpulan dalam isi
makalah ini, antara lain ;
1.
Tafsir bil Ma’tsur bisa juga
disebut dengan Tafsir bil Riwayah dan
tafsir bil Naqli. Dengan kata lain
penafsiran al-Qur’an dengan metode ini adalah dengan al-Qur’an itu sendiri,
atau melalui hadits dan melalui perkataan sahabat. Sedangkan tafsir bir ra’yi juga dapat dikatakan sebagai
tafsir bid dirayah, dengan kata lain
penafsiran al-Qur’an dengan metode ini adalah dengan cara ijtihad yang dibangun
dengan kaidah-kaidah bahasa arab yang benar dalam menafsirkannya.
2.
Perlu kita ketahui bahwa dalam sejarah perkembangan tafsir baik tafsir bil
ma’tsur maupun tafsir bil ra’yi, keduanya saling berkaitan, tidak bisa terlepas
satu dengan yang lainnya. Walaupun pada masa perkembangan tafsir bil ma’tsur, belum
begitu dikenal adanaya tafsir bil ro’yi tetapi mereka dalam melakukan
penafsiran bil ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ro’yi secara tidak langsung.
Begitupun dalam penafsiran bil ra’yi mereka tidak serta lepas
dari tafsir bil ma’tsur.
3.
Adapun hukum dalam penggunaannya, tafsir bil Ma’tsur
sangat dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula
pada Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sementara tafsir Bil Ra’yi hukumnya adalah
diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila tidak ada maka tafsir
jenis ini diharamkan atau tidak boleh dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Mohammad Gufron dan
Rahmawati. 2013. Ulumul Qur’an Praktis
dan Mudah. Yogyakarta : Penerbit Teras. Cetakan 1. Hal. 177
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy.
1980. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir. Jakarta : Bulan
Bintang.
hlm. 226-236
[3] ‘Ali Hasan Al-‘Aridi. 1994. Sejarah dan Metodologi
Tafsir, terj.Ahmad Akrom. Jakarta : PT. Raja Grafindo persada. Hlm. 42
[4] Ali Hasasn Al-Aridi.
1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir,
terj. Ahmad Akrom. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 44
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran
/Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 252-253
[6] Mohammad Gufron dan
Rahmawati. 2013. Ulumul Qur’an Praktis
dan Mudah. Yogyakarta : Penerbit Teras. Cetakan 1. Hal. 177
[7] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran
/Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 252-253
[8] Ali Hasasn Al-Aridi.
1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir,
terj. Ahmad Akrom. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 50
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran
/Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 252-253
[10] Sumber : http://imaza17.blogspot.com/2012/02/makalah-tafsir-bil-masur-dan-bir-royi.html. Diakses pad : Kamis, 24-11-2016. Pukul : 15.12
WIB
[11] Ali Hasasn Al-Aridi.
1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir,
terj. Ahmad Akrom. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 4
Komentar
Posting Komentar